Revolusi Digital akan Merevolusi Ekonomi?

Suasana Peresmian 4G LTE oleh Presiden Joko Widodo (dok)

Indonesia pada Jumaat (11/12) lalu memulai revolusi digital ditandai dengan hadirnya 4G LTE di frekuensi 1.800 MHz.

Negeri ini sebenarnya sudah menjajal teknologi 4G beberapa tahun lalu ditandai dengan TDD LTE oleh pemain seperti Bolt! disusul pemain GSM yang menawarkan FDD LTE di frekuensi 900 MHz.

Namun, bicara layanan dan investasi yang ideal, 4G LTE di 1.800 MHz adalah real LTE.

Frekuensi 1.800 MHz dianggap sebagai frekuensi ideal untuk menyediakan akses mobile broadband generasi keempat karena di sana operator GSM memiliki sumber daya frekuensi yang besar. Telkomsel dan XL mempunyai lebar pita 22,5 MHz, Indosat 20 MHz, sedangkan Tri 10 MHz.

Empat operator GSM ini adalah pemilik sekitar 90% pangsa pasar seluler nasional. Artinya, jika empat gerbong ini bergerak ke 4G LTE, dampak sistemik akan terasa di pasar.

Bicara ekosistem global, Global mobile Suppliers Association (GSA) pada September 2014 mencatat ada 331 layanan berbasis LTE dimana yang berbasis FDD LTE sekitar 291 dan TDD LTE sekitar 27 operator. Frekuensi yang dominan digunakan untuk FDD adalah  1800 MH. Singkatnya, saat ini frekuensi 1.800 MHz adalah paling ideal untuk 4G LTE.

Revolusi Digital
Hal yang menarik dari komersialnya 4G LTE pekan lalu adalah kehadiran dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo, dalam peluncuran. Jika ditilik kebelakang, kala Indonesia masuk ke era 3G, peluncuran hanya dilakukan oleh pejabat setingkat menteri.

Dalam prasasti digital yang ditulisnya, Presiden Joko Widodo menyatakan “Revolusi Digital Merevolusi Ekonomi Indonesia”. Pesan ini menyiratkan keinginan dari Presiden menjadikan sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai enabler pertumbuhan ekonomi.

Presiden wajar melontarkan keinginan tersebut karena Indonesia memiliki sejumlah modal seperti pengguna internet akan menembus 100 juta di 2015.

Belum lagi prediksi dari MGI yang menyatakan pertumbuhan tahunan dari transaksi eCommerce Indonesia untuk lima tahun ke depan (2020) sebesar 50 persen atau senilai US$ 137 miliar dari US$ 12 miliar (2014), dan deretan potensi lainnya.

Tantangan
Di balik segudang  potensi itu, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah harus dibereskan. Misal, dari sisi Network Readiness Index (NRI) Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF) yang masih rendah.  

Dilihat dari sisi Network Readiness Index dari WEF yang mengukur secara holistik pengembangan  ICT  dan dampaknya di sebuah negara, Indonesia menempati posisi 64, dibawah posisi Singapura (urutan 2) dan Malaysia (urutan 30).

Network Readiness Index Indonesia berada di atas rata-rata lower-middle income group dimana Indonesia memiliki nilai yang baik dari sisi affordability, skill serta business usage. Tetapi, memiliki nilai rendah di sisi individual usage serta infrastructure dan content readiness. Ujungnya, nilai economic impact menjadi rendah. Karena itu, jangan heran dalam prediksi OECD dinyatakan untuk 2016 kontribusi internet economy bagi GDP Indonesia hanya sekitar 1,6%.

Ada dua hal yang harus dibereskan Kabinet Kerja jika benar-benar ingin Revolusi Digital Merevolusi Ekonomi.

Pertama, regulasi yang dikeluarkan harus mendukung ekosistem. Kedua, budaya digital harus terlihat di leadership.

Bicara pembangunan infrastuktur, semua bisa terukur. Tetapi di Indonesia, bicara dua hal diatas sangat sarat intrik dan tarik menarik kepentingan.

Selama dua hal itu tak dibereskan, revolusi digital hanya sekadar jargon.

@IndoTelko