Bijak Menghadapi Hate Speech

Ilustrasi (dok)

Netizen di Indonesia sejak Oktober lalu banyak mempersoalkan munculnya Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech.            

Kepolisian dalam klarifikasinya menyatakan banyaknya peristiwa yang menyerempat SARA seperti di Sampang, Cikeusik, Tolikara dan Aceh Singkil, sebagai salah satu pemicu terbitnya surat edaran tersebut.

Dalam peristiwa itu, kekerasan terhadap kelompok masyarakat tertentu dilatari oleh ujaran kebencian yang dilontarkan kelompok masyarakat lainnya. Dari seluruh peristiwa kekerasan itu, banyak yang menilai bahwa peran polisi di wilayah tersebut tidak maksimal.

Polisi dianggap gagap dan kebingungan, bahkan tidak tahu apa yang mesti dilakukan dalam menangani perkara yang seharusnya dapat dicegah.

Menurut pihak Kepolisian, adanya surat edaran menjadikan personel Polri tidak langsung membawa perkara dugaan pencemaran nama baik, fitnah dan penghinaan serta sejenisnya ke ranah hukum. Polisi akan mengedepankan fungsi preventif. Salah satu contohnya dengan melakukan mediasi bagi pihak-pihak yang terlibat tindak pidana tersebut.

Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Bijaksana
Beredarnya Surat Edaran tersebut seperti menegaskan posisi kebebasan berinternet di Indonesia yang masuk dalam kategori bebas sebagian dalam laporan Freedom on The Net 2015.

Dalam laporan itu, Indonesia menduduki urutan ke-33 sebagai negara yang memiliki kebebasan mengakses Internet dengan skor total 42.

Metriks penilaian berkisar di seputar hambatan mengakses Internet itu sendiri, pembatasan konten, dan pelanggaran hak pengguna.

Dalam metriks Limits on Content yang menyumbangkan 12 poin, pemerintah Indonesia dianggap kurang berhasil ketika memutuskan regulasi tentang konten yang dianggap negatif.

Dalam laporan ini, masyarakat Indonesia dianggap sering menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk kepentingan personal, dan menyalahartikan antara ruang pribadi dan umum. Di Metriks Violations of User Rights, Indonesia memperoleh nilai 19.

Sementara Facebook dalam laporan bertajuk "Global Government Request Report" mengungkapkan pemerintah Indonesia telah meminta jejaring sosial itu untuk memberikan informasi tentang tujuh akun selama semester pertama 2015.

Facebook mengungkapkan bahwa Pemerintah Presiden Joko Widodo, selama Januari sampai Juni 2015 telah mengirim sebanyak delapan permintaan informasi kepada Facebook. Dari total permintaan itu, jelas Facebook, hanya 12,50% yang dipenuhi oleh Facebook.

Jumlah permintaan dari pemerintah Indonesia pada semester pertama 2015 sendiri lebih sedikit jika dibandingkan dengan periode Juli - Desember 2014. Ketika itu pemerintah Indonesia meminta Facebook mengungkap data 21 akun dari total lima permintan resmi yang diajukan ke Facebook. Pada masa itu Facebook hanya memenuhi 40%  dari data yang diminta oleh Indonesia.

Benang merah yang bisa ditarik dari semua peristiwa ini adalah sebagai bangsa, Indonesia memang belum matang demokrasinya. Salah satu ciri-ciri negara yang sudah matang demokrasinya adalah bisa menerima perbedaan pendapat tanpa  harus berujung kepada kekerasan atau ruang hukum.

Menjadi hal yang wajar di negara yang demokrasinya belum matang, penguasa melakukan intervensi melalui regulasi yang mengekang kebebasan.

Sekarang kembali ke Netizen, apakah rela kebebasan yang diperjuangkan dengan susah payah dipasung pemerintah  atau menjelma menjadi kelompok sosial yang bisa bebas dan bertanggungjawab di dunia maya sehingga negara tidak ada alasan melakukan intervensi.

@IndoTelko