Project Loon di Indonesia, Siapa Diuntungkan?

Direksi operator asal Indonesia dan Petinggi Google usai penandatanganan MoU Project Loon (dok)

Tiga operator besar di Indonesia telah menandatangani kesepakatan dengan Google untuk melakukan uji coba teknis (Technical Test) terhadap Project Loon, jelang tutup Oktober 2015.

Ketiga operator yang terlibat adalah Telkomsel, Indosat, dan XL. Ketiganya adalah penguasa sekitar 85% pangsa pasar seluler di Tanah Air. (Baca juga: Operator ujicoba Balon Internet)

Project Loon sendiri adalah inovasi penyediaan akses internet dengan mengandalkan penempatan balon-balon di udara yang diibaratkan seperti Base Transceiver Station (BTS).

Inovasi Google ini dapat terbang selama 187 hari, dengan jarak tempuh lebih dari 17 km. Jarak antar balon ke balon untuk menghubungkan data sejauh 100 km, kapabilitas peluncuran 20 balon per hari, tingkat kecepatan navigasi mencapai 500 meter per detik.

Untuk uji coba di Indonesia, rencananya balon-balon ini menggunakan frekuensi 900 MHz milik Telkomsel, Indosat, dan XL berlangsung selama satu tahun pada 2016, di lima titik di atas Sumatera, Kalimantan, dan Papua Timur.

Teknologi yang diusung Google sebenarnya sudah lama dikenal dengan  High Altitude Platform Station (HAPS). Inovasi ini dipergunakan dalam dunia telekomunikasi wireless sebagai jalan tengah dari sistem komunikasi satelit dan terestrial (tower).

HAPS memanfaatkan lapisan Stratosphere untuk  menempatkan sebuah atau beberapa pesawat (balon gas atau airplane type) pada ketinggian 20 km dari permukaan bumi dan selanjutnya digunakan sebagai wahana transmisi (broadcast,  multicast, bidirectional) baik telekomunikasi, internet (acces atau backbone), TV berbayar serta juga Remote Sensing.

Google Loon adalah varian dari HAPS yang memanafaatkan balon untuk bisa diakses oleh pengguna dalam kurun waktu tertentu saja. Kapasitasnya rendah karena keterbatasan catu daya dan volume.

Menurut Google, inovasi ini bisa menjadi solusi bagi penetrasi akses internet di Indonesia yang kondisi geografisnya tak semua mendukung penempatan menara telekomunikasi.

Hal ini diperkuat dengan laporan Freedom on The Net 2015 dimana Indonesia menduduki urutan ke-33 sebagai negara yang memiliki kebebasan mengakses Internet dengan skor total 42. Penilaian berkisar di seputar hambatan mengakses Internet itu sendiri, pembatasan konten, dan pelanggaran hak pengguna. Posisi Indonesia tak berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia yang masing-masing menduduki posisi ke-32 dan 35.

Indonesia yang memiliki sekitar 250 juta penduduk, hanya memiliki sekitar 73 juta pengguna Internet. Angka ini mengindikasikan penetrasi Internet kurang dari 30% dari total populasi. Kecilnya penetrasi Internet yang terbentur faktor geografis menghasilkan skor senilai 11 dalam metriks Obstacles to Access.

Kontroversi
Bagi sebagian kalangan, aksi operator yang memilih bermitra dengan Google untuk menggarap penetrasi di kawasan rural menjadi tanda tanya.

Pasalnya, beberapa kalangan telah mengembangkan OpenBTS beberapa tahun lalu dan lebih proven karena pernah digunakan saat ada bencana alam.

Teknologi  OpenBTS bagi telekomunikasi GSM berbasis software open source biasanya memanfaatkan frekuensi 900 MHz atau 1.800 MHz. Selama ini pemerintah seperti memasung pengembangan OpenBTS dengan alasan frekuensi yang digunakan berlisensi dan harus membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP).

Nah, jika frekuensi ini berlisensi, kenapa pemerintah malah mendorong operator bekerjasama dengan Google, padahal teknologinya belum proven secara komersial? Bukankah antara OpenBTS dan Balon milik Google sebenarnya inovasi yang setara, kenapa perlakuan berbeda?

Pertanyaan lainnya, benarkah operator di Indonesia membutuhkan Project Loon atau Google yang butuh Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia inovasinya akan diujicoba di negara yang akan menjadi salah satu pasar digital terbesar di Asia? Jangan-jangan ada tangan-tangan tak terlihat yang setengah memaksa operator untuk bekerjasama dengan Google?

Jika melihat pernyataan dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) akhir pekan ini, dikatakan, pada bulan Juli 2015, asosiasi ini sudah secara langsung menanyakan ke Google mengenai keberadaan Project Loon untuk kepentingan anggota, namun dikatakan tidak tersedia. (Baca juga: APJII ingin cicipi Project Loon)

Nah, lantas kenapa pada Oktober 2015 mendadak ada penandatanganan kerjasama dengan tiga operator dan seperti mendapat restu dari Menkominfo Rudiantara yang berada di Amerika Serikat sana?

Tiga operator seluler pun sepertinya ingin bermain cantik dengan memberikan akses bagi Google untuk uji coba di remote area. Hal ini berarti hanya sekitar 4% dari cakupan geografis yang belum terlayani operator di Indonesia.

Namun, jika melihat dahsyatnya kemampuan lobi dari petinggi Google ke pemerintah Indonesia, hal yang dikhawatirkan adalah daya jelajah balon tak hanya di remote area, tetapi masuk ke perkotaan, minimal kabupaten.

Seandainya hal ini yang terjadi, maka operator dan pemerintah secara sadar atau tak sadar telah membuka kotak Pandora sangkarut pengelolaan lisensi dan frekuensi di Tanah Air.

Untuk diketahui, selama ini pemilik frekuensi memiliki lisensi penyelenggara jaringan dan harus memenuhi kewajiban yang tertera dalam lisensi modern. Seandainya wilayah balon internet Google melebar kemana-mana, dan anggota APJII ikut serta, artinya berbagi frekuensi dan open access di level jaringan aktif telah diijinkan.

Padahal, aturan soal berbagi frekuensi ini belum dikeluarkan dan sudah ada korban yang jatuh karena dianggap menyalahgunakan frekuensi 3G, yakni Indosat dan IM2 yang berujung masuknya Direktur Utama IM2, Indar Atmanto ke Hotel Prodeo.

Sebelum makin jauh melangkah, sudah saatnya Menkominfo Rudiantara berbicara lebih transparan ke publik tentang kisah awal dari Project Loon ini ke masyarakat dan rencana regulasi yang akan dipersiapkan untuk teknologi ini.

Jika tidak, pihak yang paling sengsara adalah tiga operator nantinya, sementara Google sejak diumumkan rencana kerjasama ini sudah menikmati manisnya menebar pesona membantu Indonesia dari sisi pencitraan.

@IndoTelko