Blu-Jek Mencuil Peruntungan di Ridesharing

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Bisnis ridesharing berbasis roda dua tak hanya menjadi milik Go-Jek dan Grab Bike, terutama di Jakarta.

Pemain baru, Blu-Jek hadir menjadikan medan kompetisi kian ketat. “Kami ingin memberikan kemudhan bagi pelanggan. Pangsa pasar ridesharing berbasis roda dua ini besar di Jakarta, siang itu ada sekitar 20 juta jiwa di Jakarta,” kata Co-Founder Blu-Jek Garret Kartono, belum lama ini.

Perusahaan yang menggunakan identitas warna biru di sisi pengemudi  baru mempunyai 1.000 pengemudi ojek yang mereka sebut dengan Blu Rider. Sementara layanan yang diberikan  jasa transportasi (Blu-Rider), pengiriman barang (Blue-Pick), belanja (Blu-Shop), dan jasa pembelian serta pengantar makanan (Blu-Menu).

Co Founder Blu-Jek Michael Manuhutu mengharapkan bisa mendapatkan sekitar 4 ribu Blu Rider hingga akhir tahun. “Kami punya driver mayoritas tukang ojek pangkalan. Kita ingin kurangi gesekan di lapangan nanti. Kalau bicara persaingan sesama ridesharing, ini bukan kompetisi, kami melengkapi yang sudah ada,” katanya.

Adapun persyaratan menjadi Blu Rider sama seperti operator ojek lainnya. Blu Rider harus datang langsung ke Kantor Blu-Rider di Fatmawati Raya Jalan Cendrawasi 1 No 18. Kemudian dilakukan tes psikotes dan kesehatan.

Di hari pertama melenggang, kabarnya sudah ada sekitar 9 ribu orang yang mengunduh aplikasi Blu Jek. Hal ini tak bisa dilepaskan dari aksi Blu-Jek memberikan promo perkenalan kepada masyarakat dengan memberikan  gratis menggunakan Blu-Jek untuk jarak 25 km.

Jika Blu-Jek baru meluncur, Go-Jek lebih progresif. Pada 21 September 2015, pionir layanan ridesharing roda dua ini akan meluncurkan  Go-Box menggandeng  anak usaha Pos Indonesia,  Pos Logistik Indonesia.     

Kontroversi
Sementara itu, kontroversi layanan ridesharing masih terjadi di Indonesia. Hal itu bisa terlihat dari pernyataan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang menegaskan  ojek bukan merupakan moda transportasi yang diatur oleh lalu lintas angkutan jalan sebagai transportasi publik.

"Angkutan roda dua itu dianggap keselamatannya kurang sehingga tidak dimasukkan dalam undang-undang," katanya.

Sementara untuk pembesut ridesharing berbasis roda empat seperti Uber, Jonan mengaku telah mengirimkan surat. "Uber itu, kalau menurut saya hanya teknologi reservasi dan teknologi bisnis, yang harus dilakukan itu taksi-taksinya mau pelat hitam atau mau pelat apa, itu harus ada registrasi bahwa kendaraan itu harus sebagai transportasi umum," tegasnya.

Menurutnya, sistem teknologi yang dikembangkan Uber tak bisa ditolak, tetapi untuk memenuhi aturan di Indonesia, taksi  harus teregistrasi. "Kalau Anda ke negara maju, itu banyak yang pake pelat hitam semua, tapi teregistrasi sebagai kendaraan taksi yang khusus," tegasnya.

Pandangan lain dikemukakan  Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyarankan ada regulasi resmi terkait ridesharing agar pengguna lebih terlindungi.  “Kalau saya, sudahlah, resmikan saja. Biar pelanggan lebih terlindungi,” katanya.(id)