Menimbang PPnBM Bagi Smartphone

Ilustrasi (Dok)

Pemerintah kembali mengapungkan wacana Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)  sebesar 20% atas telepon genggam, komputer genggam dan komputer tablet dengan nilai jual di atas Rp 5 juta.  

Kementrian Keuangan (Kemenkeu) kabarnya secara prinsip menyetujui usulan ini, tetapi masih membutuhkan kajian yang mendalam.

Salah satu pertimbangan perlunya dikenakan PPnBM bagi smartphone dan kawan-kawannya guna meminimalisir dampak negatif peredaran perangkat tersebut.

Pasalnya, smartphone menjadi salah satu pemicu defisitnya neraca perdagangan, karena Indonesia selama ini karena terlalu rajin.

Sedangkan dari sisi sosial, ternyata smartphone sudah menggeser cara berkomunikasi di masyarakat, dimana tadinya banyak bertatap muka berubah mengandalkan perangkat tersebut.

Bagi mereka yang kontra dengan wacana ini mengingatkan, jika beleid tersebut dijalankan maka harga perangkat kian mahal sehingga produk selundupan akan marak. Belum lagi, produk seperti smartphone dan lain-lain baru saja dikenakan tambahan PPh impor menjadi 7,5%.

Kesimpulannya, jika pemerintah berorientasi mengejar tambahan setoran sembari berharap nafsu impor tertahan, mengandalkan beleid fiskal sepertinya bukanlah langkah yang tepat.

Tata Niaga
Rasanya, hal yang paling urgent harus dilakukan pemerintah sekarang adalah menata tata niaga ponsel dengan adanya koordinasi antara Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementrian Perindustrian (Kemenperin), Kementrian Perdagangan (Kemendag), dan Kemenkeu. M

Wacana mewajibkan registrasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) yang diusulkan Kemendag beberapa waktu lalu rasanya pantas dipertimbangkan. Pasalnya, di dalam IMEI terdapat informasi mengenai kode negara, kode assembling, kode manufaktur, dan serial number sehingga mampu menekan peredaran barang selundupan.

Pemerintah juga harus mulai secara nyata memberikan insentif bagi investor agar mau melakukan proses  manufaktur bagi perangkat Teknologi Informasi (TI) di Indonesia.

Memang, dua langkah ini membutuhkan proses untuk implementasi, tetapi setidaknya lebih menguntungkan Indonesia di masa depan.

Pasalnya, saat ini penetrasi smartphone berkisar 20%-30% dari total 220 juta pengguna seluler nasional. Smartphone sebenarnya adalah komoditi dimana harganya akan turun seiring skala ekonomi membesar.

Operator sendiri telah memberikan sinyal yang dibutuhkan adalah produk dengan banderol di bawah Rp 1 juta untuk membuka pasar baru.

Jika memaksakan dikenakan pajak barang mewah, hal ini justru menjadikan penetrasi smartphone melambat dan penggunanya hanya dari golongan tertentu. Sebuah ironi tentunya bagi negara yang mengandalkan mobile broadband untuk akses informasi.

@IndoTelko