Smartfren Digusur ke 2,3 GHz, Siapa Diuntungkan?

Ilustrasi (Dok)

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dikabarkan ingin menata frekuensi 2,3 GHz yang selama ini dialokasikan untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA).

Jika rencana ini benar adanya, hal ini berarti beleid pemerintah memberlakukan teknologi netral di 2,3 GHz setelah sebelumnya dipasung hanya untuk worldwide interoperability for microwave access (WiMax) belum memikat pelaku usaha yang memenangkan tender di 2009 untuk berbisnis.

Terobosan terbaru kabarnya pemerintah ingin membawa PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) yang selama ini identik dengan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) pindah dari frekuensi 1.900 Mhz ke 2,3 GHz.

Gula-gula yang ditawarkan adalah alokasi 30 MHz di 2,3 GHz dan migrasi diharapkan rampung dalam kurun waktu dua tahun mendatang. Jumlah frekuensi itu naik empat kali lipat dari kepemilikan saat ini yang 7,5 MHz di 1.900 MHz.

Alasan dipindahkannya Smartfren sepertinya tak bisa dilepaskan dari jeritan para pemain berbasis teknologi GSM yang menggelar 3G di 2,1 GHz. Lima operator 3G itu selama ini terganggu oleh sinyal CDMA milik Smartfren.

Sebenarnya bukan masalah sinyal dari Smartfren saja yang membuat pemain 3G terganggu. Gebrakan pemasaran sejak sinergi Smart Telecom dan Mobile-8 Telecom mengusung merek Smartfren di 2011 lalu membuat pemain 3G kebat-kebit. Aksi Smartfren bisa dikatakan sebagai maverick yang memberikan dinamika di tarif data.

Tak Mudah
Ide yang dilontarkan pemerintah ini memang terlihat cerdas, tetapi bagaimana tingkat kelayakan implementasi? Pemerintah harus membereskan dulu beberapa pekerjaan rumah jika memang ingin memindahkan Smartfren ke 2,3 GHz.

Pertama, apakah wajar Smartfren mendapatkan frekuensi sebesar 30 MHz tanpa mengikuti lelang layaknya pemain lain di BWA kala 2009 lalu? Belum lagi jika alokasi 5 MHz di 850 MHz masih dikuasai Mobile-8 Telecom. Pasalnya, sisa 30 MHz di 2,3 GHz akan dilelang nantinya, tentu ini akan menimbulkan kecemburuan.

Kedua, terkait lisensi dimana saat ini Smartfren memiliki seluler dan Fixed Wireless Access (FWA) yang artinya bisa menyelenggarakan jasa suara dan SMS dengan blok nomor serta berlaku nasional. Hal ini berbeda dengan penghuni lama frekuensi 2,3 Ghz  yang hanya diijinkan bermain data serta berbasis zona.

Ketiga, masalah pembayaran up front fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi nantinya. Pemerintah harus belajar dari kekalahannya di pengadilan terkait pembayaran BHP dari Smartfren yang butuh waktu bertahun-tahun sebelum adanya kepastian.  

Terakhir, masalah pelayanan ke pelanggan. Saat ini Smartfren sudah memiliki sekitar 11,5 juta pelanggan. Bukan hal yang mudah mengganti perangkat pelanggan, tentu modal yang dikeluarkan lumayan besar, sedangkan kondisi fundamental perseroan belum sehat.

Hal yang menarik dipertanyakan adalah, siapa yang diuntungkan jika Smartfren pindah dari CDMA ke TDD Long Term Evolution (LTE)?

Sinyal dari manajemen Smartfren menyatakan masih setia dengan CDMA dan berharap mendapatkan tambahan frekuensi di 850 MHz guna menggelar LTE.

Sesuatu yang lumrah mengingat jika migrasi frekuensi terjadi harus mengeluarkan investasi lumayan besar, dan berujung terus merahnya laporan keuangan.

Pelanggan Smartfren sendiri bisa saja tak menikmati lagi tarif data yang murah mengingat kompensasi perpindahan secara tak langsung dibebani ke pengguna.

Sedangkan dari sisi kualitas layanan belum tentu pelanggan menikmati kemewahan akses dan stabilitas jasa data seperti sekarang mengingat di 2,3 GHz sendiri rawan interferensi.

Nah, sudah tepatkah memboyong Smartfren ke 2,3 GHz?

@IndoTelko