Produk Telekomunikasi Sumbang Defisit Neraca Perdagangan

Ilustrasi (Dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia kembali mencatat defisit neraca perdagangan selama 2013 akibat tingginya produk impor yang masuk sepanjang tahun.  

Sepanjang 2013, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan hingga US$ 4,06 miliar, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang juga mengalami minus US$ 1,67 miliar. Dengan kata lain, defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu ambruk hingga 143%.

Ternyata, salah satu pemicu defisit neraca perdagangan Indonesia  adalah tingginya angka impor produk telekomunikasi dari hulu ke hilir. Mulai dari impor ponsel terbaru hingga infrastruktur jaringan untuk ekspansi layanan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama 2013 impor ponsel mencapai 16.470 ton atau senilai dengan US$ 2,8 miliar setara dengan Rp 34,1 triliun.

Jika melihat impor secara keseluruhan, ponsel adalah komoditas dengan nilai impor terbesar kedua setelah komponen minyak dan gas bumi (migas). Sedangkan dalam kelompok nonmigas, ponsel yang merupakan barang konsumsi ini berada di urutan teratas.

Dibandingkan dengan tahun 2012 lalu secara nilai, impor ponsel tercatat meningkat. Sementara secara volume menurun.

Tahun lalu ada sebesar 18.309 ton atau senilai US$ 2,6 miliar ponsel impor yang masuk. Naiknya nilai impor ini dikarenakan salah satunya adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Indonesia mengimpor ponsel dari China dengan 13.116 ton atau US$ 1,6 miliar. Vietnam dengan 1426 ton atau US$ 607,1 juta, dan Meksiko 239 ton atau US$ 203,6 juta.

Selanjutnya adalah Taiwan sebesar 271 ton atau US$ 190,8 juta, India 432 ton atau US$ 56,5 juta dan Hungaria dengan 63 ton atau US$ 51,5 juta. Selain itu juga ada dari Hong Kong, Singapura, Kanada, Australia, Thailand, Amerika Serikat dan negara lainnya.

Sementara belanja infrastruktur operator berupa perangkat radio dan stasiun pemancar diperkirakan mencapai US$ 10 miliar atau setara Rp 121,9 triliun.

Diperkirakan angka impor produk telekomunikasi ini bukan tak mungkin semakin meningkat tahun ini seiring kehadiran teknologi baru. Menyambut era 4G, para operator seluler sudah pasti akan membangun jaringan mulai dari backbone, backhaul, dan akses, yang tentunya diimpor dan dibayar dalam mata uang asing.

Tersungkurnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang menembus angka di atas Rp 12.000 juga tak menghalangi niat para operator untuk belanja perangkat infrastruktur meskipun investasi yang harus dikeluarkan naik 15%.  

Di 2014, untuk smartphone saja diperkirakan akan ada 31,7 juta unit dikapalkan di Indonesia, 65%-nya adalah berbasis Android. Dari jumlah itu, potensi pasar terbesar ada di perangkat dengan kisaran harga di bawah US$ 100, dengan perkiraan pangsa pasar 43%. Sedangkan perangkat di kisaran harga US$ 100 - 200 bakal mencapai 34%. Dan yang di atas US$ 200 mencapai 29% pasar.

Tingginya potensi pasar Indonesia ini menjadikan salah satu alasan manufaktur seperti Foxconn menandatangani letter of intent yang menjanjikan investasi hingga US$ 1 miliar di Indonesia.

Investasi US$1 miliar itu akan dikeluarkan Foxconn dalam tiga hingga lima tahun, dan akan meliputi bidang-bidang termasuk R&D (research and development), desain software elektronik, manufaktur, dan perakitan produk-produk elektronik.(ak)