OTT Distorsi Iklim Seluler?

Ilustrasi (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) –  Pemerintah menilai  para pemain over the top (OTT) telah mendistorsi bisnis seluler Indonesia sehingga dirasa perlu adanya regulasi yang mengatur para pelaku usaha berbasis kreatifitas itu.

OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.

Golongan pelaku usaha  yang masuk OTT diantaranya Facebook, Twitter, dan Google.

“OTT itu mendistorsi iklim seluler. Model  bisnisnya tidak  mengenal batas wilayah, aspek keamanan rendah. Bisnis ini harus dikelola lebih baik dengan adanya aturan,” ungkap Plt Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Kalamullah Ramli, kemarin.

Diungkapkannya, pemerintah sudah rampung merancang aturan tersebut dimana lima  aspek penting menjadi sorotan yakni kerja sama dengan pihak OTT harus diketahui pemerintah, kualitas layanan merupakan bagian dari perlindungan pengguna, perlu keamanan dan privasi layanan. Kemudian data pengguna tidak disalahgunakan,  beban pajak dan nonpajak harus ditanggung  secara adil, tidak hanya oleh operator telekomunikasi saja.

"Model bisnis antara operator seluler dan OTT seharusnya mampu menyesuaikan iklim. Sebab teknologi masa depan adalah OTT. Sementara karakteristik bisnis internet memiliki turnover tinggi, apalagi basis pelanggan dipandang sebagai basis operator. Maka itu, pemerintah ingin jadi enabler bagi kedua belah pihak," kata Pria yang akrab disapa Prof Mulli ini.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan aturan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri yang akan masuk masa uji public tak lama lagi.

“Kita maunya PM itu keluar secepatnya, kasihan operator bleeding karena OTT. Bayangkan, setiap operator itu hitungan kasarnya tiap tahun menyetor Rp 2,5 triliun ke OTT asing. Kita maunya di aturan ini juga masuk ke kerjasa  bisnis yang lebih spesifik, misalnya masalah fungsi OTT sebagai alat pembayaran. Padahal, kewajiban approval pemotongan pulsa dari regulator itu perlu,” jelasnya.

Strategi Operator
Pada kesempatan sama, Presiden Direktur XL  Axiata Hasnul Suhaimi menjelaskan ada tiga  strategi yang dilakukan perseroan menghadapi OTT yakni charge them, partnership, atau menjadi OTT.

“Kami sudah jalankan  partnership atau mengembangkan layanan OTT sendiri seperti XL Nonton. Opsi charge pada OTT, belum dilakukan. Pasalnya,  pemain seperti Google tidak mau dikenakan biaya,” ungkapnya.

Diungkapkannya, di pasar Asia  tidak ada iklan dari layanan OTT, tapi pendapatan didapat dari akses. “Sedangkan di Amerika ada iklan. Kami ingin seperti itu karena selama ini sharing yang kami terima sedikit," pinta Hasnul.

Sedangkan Ketua Umum Masyarakat Telematika  Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa menilai tidak diperlukan adanya aturan khusus terkait OTT dikeluarkan pemerintah. “Ini kan masalah bisnis, baiknya biarkan saja mereka (operator dan OTT) menemukan jalan keluarnya. Nanti pasti ada titik keseimbangan,” katanya.(id)