Asa Baru di Bisnis Konten

Ilustrasi (DOK)

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring akhirnya menerbitkan aturan terbaru untuk konten premium.

Aturan baru itu adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten pada Jaringan Bergerak Seluler dan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel dengan Mobilitas Terbatas.

Peraturan ini resmi menggantikan Peraturan Menteri Komunikasi No 1 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (SMS) ke Banyak Tujuan (Broadcast).

Aturan ini adalah jawaban atas ketidakpastian berbisnis konten di Indonesia usai mencuatnya kasus sedot pulsa yang diikuti dengan Black October 2011 dimana terjadi unreg massal oleh operator terhadap konten premium di ponsel pelanggan.

Dampak dari kebijakan tersebut adalah nilai bisnis konten langsung menyusut dan sumbangannya ke pendapatan operator pun turun drastis.
Diperkirakan bisnis konten sebelum adanya Black October sekitar Rp 8 triliun – Rp 10 triliun, dimana Ring Back Tone (RBT) menguasai hampir 90% pendapatan.

Terjadinya Unreg massal pada 2011 diprediksi menjadikan  total omset industri  musik pada 2011   hanya Rp 450 miliar terkoreksi dari target awal Rp 600 miliar. Sedangkan nilai bisnis konten diperkirakan hanya tersisa 0,5% dari  Rp 8-10 triliun.

Lebih ketat
Jika melihat aturan baru di bisnis konten ini terlihat lebih ketat dimana masalah perizinan dan kewajiban dari penyedia konten diatur lebih detail.

Tak hanya itu, dalam aturan baru ini penyedia konten juga dikenakan   Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation) yang  merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan. Pembayaran kewajiban tersebut  melalui penyelenggara jaringan.

Hal yang menarik adalah dinyatakanya   Ring Back Tone (RBT) sebagai bagian dari fitur proses switching tidak termasuk kategori Konten.

RBT yang dapat diganti dengan potongan lagu, musik, atau suara khas lainnya disediakan oleh penyelenggara jaringan bekerjasama dengan penyedia musik individu, asosiasi, atau siapapun yang berhak sesuai ketentuan peraturan hak atas kekayaan intelektual.
 
Lantas benarkah aturan baru ini menjadi oase bagi pebisnis konten? Sinyal yang dikeluarkan oleh para pemain adalah masih belum puasnya terhadap aturan baru ini.  

Aturan ini dinilai memberatkan pelaku bisnis di masa depan karena pengawasan tidak bersifat self regulatory, adanya pungutan  BHP yang memberatkan, terakhir masalah SMS broadcast yang diwajibkan ke pelanggan telah terdaftar akan menyulitkan promosi.

Reaksi yang lumrah, karena setiap aturan memang tak akan bisa  memuaskan semua pihak. Hal yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah  lebih massif mengedukasi aturan baru ini ke semua pemangku kepentingan agar industri kreatif kembali bergairah dan masyarakat terlindungi dari konten nakal yang merugikannya.

@IndoTelko.com