Harga Kartu Perdana Terlambat Ditata

Ilustrasi (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) – Wacana menetapkan harga kartu perdana sebesar Rp 100 ribu guna menekan tingkat pindah layanan dan trafik Sambungan Langsung Internasional (SLI) ilegal oleh pemerintah dinilai terlambat oleh distributor produk telekomunikasi.
 
”Saya rasa itu terlambat diterapkan aturan pengetatan harga. Sekarang sudah kadung dibanting murah, di Indonesia kalau sudah murah, tiba-tiba dinaikkan dengan angka berkali lipat akan ditolak keras,” ungkap Direktur Utama Tiphone Mobile Indonesia Tan Lie Pin, kemarin.
 
Diingatkannya, saat ini penetrasi layanan seluler sudah masuk ke pelosok desa sehingga konsumen sudah mencapai segmen menengah bawah yang sensitif pada harga. ”Supir saya cerita tentang tukang sayur yang terbantu usahanya karena seluler. Nah, kelompok seperti ini masa kita mau tetapkan harga tinggi,” katanya.
 
Menurutnya, jika memang ingin menjaga harga kartu perdana, operator dari awal tidak membanting harga seperti dulu. ”Saya bingung, kan operator yang membanting harga, sekarang malah usulkan naikkan harga,” katanya.
 
Komisaris Utama TiPhone Hengky Setiawan menambahkan sebagai distributor utama dari produk Telkomsel dan XL taka da masalah pada kinerja keuangan jika harga kartu perdana dinaikkan.
 
“Pendapatan utama kan dari voucher isi ulang. Kami percaya dengan operator, khususnya Telkomsel karena pasokan omzet utama dari sana. Jika mereka taka da masalah, kita sebagai distributor maju terus,” tegasnya
 
Sebelumnya, dua operator besar, Telkomsel dan Indosat memberikan sinyal menolak wacana harga SIM Card perdana dinaikkan menjadi Rp 100 ribu.
 
Direktur Utama Telkomsel, Alex Janangkih Sinaga mengingatkan industri seluler nasional bisa kolaps jika beleid harga Sim Card perdana senilai Rp 100 ribu diterapkan.  
Menurutnya, karakter masyarakat Indonesia dalam berlangganan telekomunikasi sangat price sensitf sehingga jika dipasang banderol mahal, dijamin akan ditinggalkan pengguna.
 
Apalagi, pasar Indonesia adalah prabayar. Hal itu bisa terlihat di Telkomsel dimana pengguna pascabayar hanya  2,5 juta nomor sementara prabayar 122,5 juta nomor.
Fakta lainnya, banderol Sim Card murah telah menjadi alat persaingan bagi operator untuk mendapatkan pelanggan baru. Biasanya, kala dilepas 8 kartu perdana, satu akan kembali menjadi pelanggan setia.
 
“Kami tak setuju kalau dibanderol Rp 100 ribu. Kasihan orang-orang yang belum menikmati layanan seluler. Entry barrier-nya jadi tinggi, harga itu terlalu mahal,” ungkap President Director & CEO Indosat Alexander Rusli.
 
Menurutnya, jika tujuan untuk menertibkan penggunaan kartu prabayar yang menjadi perhatian pemerintah, maka operator harus  bekerja lebih keras memberikan layanan yang membuat pelanggan tak mudah berpindah.
 
Sedangkan Presiden Direktur  XL Axiata Hasnul Suhaimi memprediksi jika Sim Card harganya Rp 100 ribu maka churn rate akan turun siginifikan.“Syaratnya, harus  konsisten dan diawasi dengan ketat. Selama ini terdapat sekitar  50 juta sim card hilang setiap tahunnya atau setara Rp 3 triliun terbuang percuma  setiap tahunnya,” katanya.
 
Menurutnya, bagi operator dalam penetapan harga SIM Card itu memiliki dua konsekuensi. Jika harga tinggi maka churn akan terjaga, sementara jika harga dibanting maka pertumbuhan akan terjadi. “Kita ikut pemerintah saja, mana yang mau dipilih,” katanya.
 
Wakil Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M. Budi Setiawan mengatakan belum ada kata putus untuk nominal yang layak bagi kartu perdana. “Ada yang usul Rp 100 ribu, tetapi ada yang usul juga di atas atau di bawah angka itu. Tetapi, memang harga kartu perdana itu akan dinaikkan agar orang tidak mudah buang-buang nomor,” katanya.
 
Diharapkannya, jika harga SIM Card dinaikkan maka bisa   menekan tingkat pindah layanan (Churn rate) yang terlalu tinggi di Indonesia yang di kisaran 20% setiap bulannya. Padahal, di luar negeri di angka 18% setiap tahun.(id)