"Black Monday" Bagi Industri Telekomunikasi

Ilustrasi (DOK)

Kasus  dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G  di 2,1 GHz yang melibatkan Indosat dan Indosat Mega Media (IM2) memasuki babak puncak pada Senin (8/7) lalu.

Harapan banyak kalangan agar Mantan Dirut IM2 Indar Atmanto divonis tak bersalah gagal tercapai. Indar dipaksa menjalani Ramadan dengan status terhukum  4 tahun penjara dan  denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.

Majelis Hakim yang diketuai oleh Antonius Widijananto juga menghukum PT Indosat Mega Media (IM2) membayar kerugian negara sebesar Rp 1,358 triliun paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Vonis dijatuhkan karena Indar dinyatakan terbukti menghindari kewajiban membayar Up front fee dan BHP frekuensi kepada negara atas penggunaan frekuensi 2,1 GHz atau 3G. Sehingga, merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,358 triliun.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan dari kerja sama antara  Indosat dan IM2 tidak memperkaya orang-perorang. Melainkan, dianggap memperkaya IM2 dan Indosat sehingga, uang pengganti dibebankan terhadap IM2.

Black Monday
Komunitas telematika nasionl menyebut keluarnya vonis tersebut sebagai lonceng kematian bagi bisnis internet di Indonesia dan  Senin Berduka (Black Monday).

Bagi yang rajin mengikuti sidang dari kasus ini memang terasa aneh jika melihat fakta-fakta persidangan yang banyak meringankan Indar seperti dikesampingkan oleh Majelis hakim.

Misalnya, adanya surat dari Menkominfo Tifatul Sembiring yang menyatakan model kerjasama Indosat dan IM2 hal yang lumrah atau keluarnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan  tidak sah dan cacat hukum. Belum lagi pertimbangan kasus ini adalah aksi korporasi, bukan tindakan individu seorang Indar.

Kejanggalan lain adalah terjadinya perubahan isi dakwaan jaksa ketika proses persidangan telah berlangsung. Undang-undang mengizinkan jaksa mengubah dakwaan, tapi ini harus dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum sidang dimulai.

Namun,jaksa mengubah dakwaan ketika sidang memasuki tahap pembacaan tuntutan. Perubahan dari dakwaan semula penggunaan bersama frekuensi menjadi penggunaan frekuensi tanpa izin menteri.Semestinya hakim menolak tuntutan jaksa karena dakwaan yang berubah secara tidak sah telah cacat hukum.

Melihat fakta-fakta tersebut, hal yang wajar Indar melakukan banding dan sejumlah kalangan mempertanyakan vonis yang dikeluarkan. Bahkan kabarnya, GSMA dan Internatioanl Telecommunication Union (ITU) ikut mempertanyakan standar regulasi di Indonesia.

Namun, hal yang menggelitik dan hingga kini tak bisa (belum) terjawab adalah jika sesuatu yang rasanya semua benar menurut komunitas telematika, kenapa bisa disalahkan?

Tentu ini harus menjadi otokritik bagi industri telematika, khususnya Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membenahi kebolongan di regulasi  sehingga tak timbul lagi korban-korban lainnya akibat perbedaan interpretasi membaca aturan oleh sesama aparatur negara.
   
@IndoTelko.com