Semangat Berbagi dan Mencari Keadilan dalam Kompetisi

Seremoni acara IndoTelko Forum (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) - Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan paling cepat di industri seluler dunia. Negeri ini tercatat menempati posisi keempat di Asia setelah China, Jepang, dan India soal pertumbuhan seluler.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat selama periode 2006-2010, pertumbuhan pengguna seluler di Indonesia rata-rata mencapai 31,9% per tahun dengan jumlah penyelenggara telekomunikasi terbanyak di dunia, sepuluh operator dengan teknologi GSM dan CDMA.

Di satu sisi, banyaknya jumlah pemain membawa dampak positif terhadap penurunan tarif. Namun di sisi lain, terlalu banyaknya operator membuat sumber daya frekuensi untuk berkembang jadi terbatas. Sementara pasar juga telah memasuki era saturasi dengan penetrasi 120% dengan coverage 95% populasi penduduk.

Berangkat dari kondisi ini, isu hangat soal merger dan akuisisi maupun konsolidasi mengemuka untuk menyatukan kekuatan sekaligus mengurangi jumlah operator. Selain itu muncul juga wacana soal berbagi jaringan aktif atau network sharing demi tujuan efisiensi dengan semangat berbagi.

Belum  Pernah
“Memang sulit kita bantah, betapa pentingnya semangat berbagi ini. Termasuk berbagi jaringan aktif di antara dua penyelenggara jaringan. Ini belum pernah kita lakukan. Namun keadilan dalam semangat berbagi ini juga penting,” ungkap Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Kementerian Kominfo  Muhammad Budi Setiawan, dalam acara yang digagas IndoTelko Forum di Jakarta, Selasa (25/6).

Pria yang akrab disapa MBS ini mengungkapkan, jika melihat dari penguasaan pasar lima operator jaringan 3G di Indonesia, Telkomsel menguasai market share pelanggan  42%, Indosat 16,7%, XL Axiata 15,9%, Hutchison 3 Indonesia (Tri) 5,4%, dan Axis Telekom Indonesia 2,1%.

Sementara dari jumlah infrastruktur jaringan, Telkomsel di Jakarta membangun 1.500 BTS Node B, Indosat 810 BTS Node, XL 756 BTS Node B, Tri 463 BTS Node B, dan Axis 497 BTS Node B.

Dari kelima operator itu, Telkomsel, Indosat, dan XL, sudah masuk zona merah alias minus kekurangan frekuensi jika dilihat dilihat dari kebutuhan bandwidth, pembagian dari jumlah pelanggan, pangsa pasar, efisiensi spektrum, jumlah BTS, dan parameter lainnya. Sementara Tri dan Axis masih di zona hijau, alias kelebihan spektrum di 3G.

“Dari situ bisa terlihat, siapa yang butuh dan mana yang belum. Sekarang keadilannya mau bagaimana, apakah kita samakan dulu semua, atau penuhi yang sudah lebih dulu butuh karena masuk zona merah. Ini yang perlu kita bahas bersama,” katanya.

Pegaang Aturan
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang juga Direktur Utama Telkomsel Alex Janangkih Sinaga menambahkan, dalam UU Telekomunikasi No. 36/1999 sudah dijelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan telekomunikasi harus berdasarkan azas manfaat, keadilan, dan kepastian hukum. Demikian pula dalam aturan di bawahnya, termasuk modern licensing yang disepakati dan menjadi komitmen operator saat mengajukan lisensi.

“Semua operator memiliki kewajiban pembangunan yang sama saat ijab kabul modern licensing. Itu dulu yang perlu digarisbawahi dalam keadilan berbagi sumber daya frekuensi yang terbatas. Jika mau network sharing pun harus demikian, kedua belah pihak harus memiliki coverage jaringan yang sama, baru kemudian berbagi, itu baru namanya adil,” kata Pria yang akrab disapa AJS itu.

Kekurangan Pasokan
Director & Chief Wholesale Indosat, Fadzri Sentosa, mengatakan trafik data di Indonesia hingga 2017 mendatang akan tumbuh lima kali lipat atau 200% setiap tahunnya. Sementara kemampuan operator untuk menambah kapasitas cuma 28% tiap tahunnya.

“Alhasil kita kekurangan pasokan (under supply), lonjakan data tidak bisa dipenuhi dengan baik. Akibatnya, kualitas jaringan yang diterima pengguna bisa terus menurun. Solusinya ada dua, penyediaan frekuensi melalui refarming dengan teknologi netral, kedua kita sharing infrastruktur dan sharing tower. Tahap awal untuk bangun jaringan bersama memang susah saat planning, tapi itu yang harus kita lakukan supaya bisa survive di industri ini,” jelasnya.

Sementara menurut Hasnul Suhaimi, President Director & CEO XL Axiata, konsolidasi harus dilakukan karena 10 operator sudah terlalu banyak. Pelajaran dari masa lalu sudah ada dengan konsolidasi yang terjadi jauh-jauh hari sejak era Telkom Mobile dan Telkomsel, serta Indosat dan Satelindo.

“Keduanya, Telkomsel dan Indosat, akhirnya menjadi penguasa pasar saat ini. Mereka akhirnya memiliki frekuensi yang besar tanpa harus diambil terlebih dulu block numbering dan frekuensinya. Apa dampaknya setelah industri konsolidasi? Jawabnya, kualitas layanan akan meningkat sehingga mempertahankan pelanggan dari churn rate jadi lebih mudah,” tandas Hasnul.(id)