Berharap Keadilan dari Majelis Hakim Kasus IM2

Ilustrasi (DOK)

Sidang kasus dugaan  penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G dengan tersangka mantan Dirut Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto, pada Kamis (30/5) lalu memasuki agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor.

Usai JPU membaca tuntutan, seisi ruangan sidang menunjukkan muka kaget, sedih, tak percaya, marah, semua bercampur aduk. Hal yang wajar, pasalnya, Indar Atmanto  terancam dipenjara selama 10 tahun, selain  berkewajiban membayar Rp 500 juta dan biaya sidang sebesar Rp 10 ribu.

Tak hanya itu, Indosat selaku induk usaha IM2, secara korporasi juga dituntut untuk mengembalikan uang sebesar Rp 1,3 triliun kepada negara yang akan disidangkan secara terpisah.

Bagi mereka yang mengikuti proses sidang dari awal tentu tuntutan itu membuat kening berkerut. Pasalnya, saksi-saksi yang dihadirkan nyaris semuanya meringankan Indar dan menganggap hal yang dilakukan Indosat dan IM2 dalam pemanfaatan frekuensi dan jaringan 3G sesuatu hal yang lumrah dan tak ada aturan dilanggar.

Saksi dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang notabene di Undang-undang Telekomunikasi menjadi pengawas dari frekuensi juga menyatakan tak ada masalah dengan model bisnis yang dikembangkan induk dan anak usaha itu.

Apalagi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah mengabulkan gugatan Indar, Indosat, dan IM2 terkait laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Sekadar diketahui,  laporan BPKP yang menyebut adanya kerugian negara hingga Rp 1,3 triliun dari kerjasama Indosat dan IM2 merupakan alat bukti paling pokok yang digunakan Kejaksaan Agung untuk mendakwa mantan Dirut IM2 Indar Atmanto melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G oleh Indosat dan IM2.

Majelis Hakim PTUN telah menyatakan laporan audit BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi radio 2,1 GHz/3G oleh Indosat dan IM2 ini tidak sah dan cacat secara hukum.

Entah kenapa, JPU tetap bersikukuh  IM2 yang menyediakan akses internet melalui media gelombang radio (jaringan seluler) milik indosat yang dipahami sebagai menggunakan frekuensi. Sehingga, tuntutan penjara 10 tahun tetap dikeluarkan, selain Indosat harus mengembalikan uang negara senilai Rp 1,3 triliun.

Jika vonis dari hakim pengadilan Tipikor mengabulkan tuntutan dari JPU, maka harmonisasi yang dibangun oleh UU Telekomunikasi dimana ada sinergi antara penyelenggara jaringan dan jasa bisa berantakan.
   
Para penyelenggara jasa internet yang biasanya perusahaan skala menengah dan kecil tentu tak akan sanggup melanjutkan bisnisnya karena akan diminta membayar BHP frekuensi sama dengan penyelenggara jaringan.  

Ilustrasi sederhananya,  saat ini semua penyelenggara jaringan seluler membayar BHP frekuensi sekitar Rp 10 triliun setiap tahun. Bagaimana mungkin ratusan penyelenggara jasa telekomunikasi diwajibkan membayar senilai angka itu setiap tahunnya.
 
Kasus IM2-Indosat ini merupakan pertaruhan besar bagi para pelaku usaha telekomunikasi dan seluruh masyarakat Indonesia. Nasib industri telekomunikasi dan wibawa Pemerintahan bergantung pada kearifan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam memutuskan perkara ini.

Kita harapkan Majelis Hakim dalam memutus perkara tidak hanya melihat UU Tipikor, tetapi juga keberadaan dari UU Telekomunikasi, tata kelola negara serta fakta dan data yang terpapar selama persidangan. Semoga keputusan terbaik yang dikeluarkan nantinya bagi kebaikan semua.

@IndoTelko.com