Lumrah, Konsolidasi di Industri Telekomunikasi

Ilustrasi (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) – Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menilai hal yang lumrah fenomena konsolidasi di industri telekomunikasi nasional karena jumlah pemain terlalu banyak sementara kompetisi kian keras.

“Konsolidasi itu hal yang lumrah. Jangan dianggap jika ada pemain yang konsolidasi itu sinyal menyerah. Bisa saja mundur selangkah untuk menang di langkah berikutnya,” ungkap Sekjen ATSI Dian Siswarini di Jakarta, Minggu (26/5).

Diprediksinya, fenomena konsolidasi akan banyak terjadi di industri telekomunikasi nasional dalam waktu dua hingga tiga tahun mendatang dimana faktor resiko bisnis akan menjadi pemicu utama.

“Konsolidasi itu tidak harus bicara akuisisi atau merger. Bisa saja kerjasama atau pembangunan bersama jaringan atau  interkoneksi domestik maupun internasional (international roaming),” katanya.

Menurutnya, resiko yang diambil operator jika melakukan konsolidasi dua organisasi adalah dalam berinvestasi karena bicara menyinergikan bisnis serta orang-orang di dalamnya.

"Bisnis operator telekomunikasi semakin meluas yang mengarah pada layanan berbasis Internet seperti mobile advertising, financial services, dan cloud services. Banyak area permainan ini baru bagi operator, jika bicara konsolidasi, itu bisa saja terjadi antara operator dengan pemain Over The Top (OTT) juga. Semua kemungkinan bisa terjadi," jelasnya.
 
Sekadar catatan, di industri telekomunikasi  konsolidasi beberapa kali terjadi. Misalnya,  PT Smart Telecom dan PT Mobile-8 Telecom Tbk (Mobile-8) membentuk Smartfren. Konsolidasi yang sudah diumumkan lainnya adalah antara PT Sampoerna Telekomunikasi Indonsia dengan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL).

Sayangnya, untuk konsolidasi keduanya belum ada realisasi yang jelas sejak diumumkan setahun lalu. Belum lama ini industri dihebokan dengan rencana XL akan mengakuisisi Axis guna mendapatkan frekuensi yang lebih besar agar bisa bersaing di masa depan. Namun, kedua operator menolak berkomentar terkait isu tersebut.

Sejauh ini regulator telekomunikasi belum juga mengeluarkan aturan terkait merger dan akuisisi terutama masalah kepemilikan frekuensi jika dua operator bergabung. Di Indonesia, merger dan akuisisi masih mengacu pada Undang-undang anti persaingan tidak sehat yang lebih melihat kepada dampak penguasaan pasar.(ak)