Berbagi Jaringan, Demi Efisiensi atau Sinyal Menyerah?

Ilustrasi (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan paling cepat di industri seluler dunia.
Negeri ini tercatat menempati posisi keempat di Asia setelah China, Jepang, dan India soal pertumbuhan seluler.

Data yang dimiliki Kemenkominfo dalam periode 2006-2010, pertumbuhan rata-rata per tahun pengguna seluler di Indonesia adalah 31,9% per tahun.

Hingga akhir 2012 jumlah pelanggan seluler hampir menyamai jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, dimana operator berbasis teknologi GSM mendominasi 95% pasar selular, sisanya merupakan pemain berbasis teknologi CDMA 5%. Sedangkan skema pembayaran  didominasi pra-bayar (94%) dan sisanya 6% pasca-bayar.
 
Saat ini di Indonesia beroperasi 5 operator seluler dengan teknologi GSM atau Global System for Mobile dan lainnya ada 5 operator CDMA atau Code Division Multiple Access.  

Banyak kalangan menilai jumlah operator di Indonesia terlalu banyak dibandingkan misalnya dengan China jika dilihat dari sisi jumlah populasi. Kondisi di lapangan pun menunjukkan sebagai dampak dari terlalu banyaknya pemain adalah keterbatasan dari sumber daya untuk berkembang sementara pasar memasuki era saturasi.

Dalam teori, jika pasar memasuki era saturasi harus dicari mainan baru untuk pertumbuhan pendapatan. Jasa data disepakati sebagai mainan baru tersebut oleh semua pemain. Hal yang menjadi masalah adalah investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan jaringan data.

Berbagi Jaringan
Konsep berbagi jaringan atau network sharing  diapungkan oleh beberapa pemain sebagai solusi untuk menekan investasi mengingat jasa data belum memberikan margin positif.

Secara teori, network sharing terdiri atas berbagi infrastruktur pasif seperti menara dan infrastruktur aktif seperti radio atau serat optik. Sederhananya, di tataran active network adalah berbagi mulai dari level last mile (akses ke pelanggan), backhaul, hingga backbone.
 
Bagi operator yang pro dengan konsep ini diyakini jika diimplementasikan efisiensi akan didapat dalam berinvestasi. Dari sisi pelanggan akan diterima biaya murah menikmati layanan karena investasi kecil.

Bagi yang kontra, menuding ide ini diapungkan oleh pemain yang nafasnya sudah tersengal-sengal akibat kompetisi kian ketat di pasar. Pasalnya, sudah rahasia umum, dampak dari kebijakan penurunan biaya interkoneksi sejak 2009 kinerja operator tak lagi kemilau.    

Siapkan
Kepala Pusat Informasi & Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto mengungkapkan saat ini tengah digodok aturan terkait network sharing dan diharapkan keluar pada akhir tahun ini.

"Untuk implementasi ini diperlukan regulasi yang kuat. Nanti akan keluar aturannya dalam bentuk peraturan menteri. Aturan harus kuat, kita tidak mau terulang kasus IM2,” katanya.

Diakuinya, untuk di area tertentu memang ada inefisiensi infrastruktur. “Jadi di kota itu bisa numpuk serat optik dan lainnya, di daerah sepi. Ini sama dengan era menara sebelum ditata sebagai menara bersama,” katanya.
 
MVNO
Sementara Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M Ridwan Effendi mengatakan saat ini sedang dilakukan kajian akademis terkait konsep berbagi jaringan tersebut.  

“Kita masih membuat kajian akademis, belum tentu kita akan menganut rezim network sharing atau frekuensi sharing,” jelasnya.

Menurutnya, dalam melihat konsep berbagi jaringan tak bisa menggunakan kaca mata kuda. “Tak bisa hanya dilihat dari sisi efisiensi, aspek persaingan usaha yang sehat yang menjadi dasar UU Telekomunikasi  adalah yang paling pokok.  Ada juga kaitannya dengan persaingan usaha, modern licensing dan aturan merger atau akuisisi. Jadi, memang akan efisien, tapi efisiensi bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai,” tegasnya.

Dijelaskannya, dari  disusun Undang-undang (UU) Telekomunikasi semua operator sudah diberi  lisensi nasional. “Artinya kalau ada operator yang tidak kuat membangun jaringan secara nasioanal, kembalikan saja frekuensi ke negara, terus minta izinnya diganti menjadi penyelenggara jasa, alias MVNO,” sarannya.

Lebih lanjut disarankannya,  bagi  operator yang sudah terlanjur investasi dan  punya kewajiban membangun dan membayar pungutan ke negara, lantas di tengah jalan tidak kuat untuk terus, bisa memilih  jalur merger atau mengganti lisensi menjadi  Mobile Virtual Network Operator (MVNO).

“Semua opsi itu dengan catatan frekuensinya dikembalikan ke negara. Jangan lantas minta aturan mainnya diubah karena tak sanggup membangun,” tegasnya.  

Ditambahkannya, sebenarnya masalah berbagi antar operator itu sudah jelas dan telah dijalankan. Misalnya, berbagi  kapasitas alias penyewaan kapasitas, roaming nasional, dan juga infrastruktur pasif seperti menara. “Kalau active sharing itu banyak yang harus diubah aturan mainnya, bisa sampai level Peraturan Pemerintah,” jelasnya.
 
Secara terpisah,  Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Sentosa   memprediksi jalan menuju berbagi jaringan aktif antar operator masih terjal dan lama.
 
"Semangat operator tinggi untuk hal ini, sebab mereka pasti ada pertimbangan efisiensi biaya. Di lapangan memang sudah ada niat berbagi karena investasi dirasakan makin tinggi. Tetapi ada kenyataan lain, yakni masalah kompetisi. Lokasi dengan trafik tinggi bagi satu operator belum tentu sama dengan lainnya,” katanya.(id)