Pemain CDMA Tak Ada Harapan?

Peluncuran Kartu Perdana Esia (DOK)

JAKARTA (indotelko) – Lembaga riset Frost & Sullivan memperkirakan  pada tahun ini  terjadi pertumbuhan di omzet industri seluler nasional sekitar 10,8%  atau mencapai Rp  149,7 triliun.  

Pada 2012 pendapatan dari industri seluler Indonesia sekitar Rp 134,5 triliun   naik 16,6% dibandingkan 2011 sebesar Rp 113,1 triliun.
Head of ICT Consulting Frost & Sullivan Indonesia Dev Yusmananda mengungkapkan, komposisi penguasaan pasar di daerah gemuk tak berubah.

“Tiga besar masih mendominasi pangsa pasar di perkotaan. Ketiganya adalah Telkomsel, Indosat, dan XL dengan penguasaan hampir 70%,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Rinciannya, Telkomsel pangsa pasarnya di kota-kota besar adalah 36,7%, Indosat (17,4%), dan XL (15,5%).

Hal yang menggelitik adalah kondisi pangsa pasar dari pemain berbasis teknologi Code Division Multiple Access (CDMA).  Jika dilihat hasil kajian dari Forst & Sullivan lumayan memiriskan.

PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) menjadi penguasa pangsa pasar untuk pemain berbasis CDMA di kota-kota besar dengan penguasaan 8,6%, TelkomFlexi (4.8%), Smartfren (4.1%). Sedangkan Ceria hanya 0,2% dan StarOne Indosat (0,1%).

Artinya, secara total pemain yang mengandalkan teknologi CDMA hanya menguasai 17,8% pangsa pasar di kota-kota besar yang merupakan  penopang pendapatan.

Tanpa Harapan
Partner Frost & Sullivan Nitin Bhat mengungkapkan, jika bicara secara realistis, para pemain yang mengandalkan teknologi CDMA di Indonesia tak memiliki harapan bertahan jika memaksakan diri tanpa ada perubahan drastis.

“Kuncinya mereka harus mengadopsi Long Term Evolution (LTE) agar bisa bersaing dengan pemain besar. Pasalnya, di Indonesia pemain CDMA terbatas frekuensinya. Kuncinya adalah konsolidasi antarpemain,” jelasnya.

Menurutnya, jika para pemain masih memaksakan untuk bermain sendiri akan kesulitan terutama dalam membangun ekosistem perangkat. “Perangkat CDMA itu terbatas sehingga harganya menjadi mahal. Kalau ada yang murah terpaksa subsidi,” katanya.

Ditambahkannya, jika melihat kondisi dari pemain CDMA yang hanya bisa menghasilkan pendapatan di sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 3 triliun akan sulit menarik pendanaan strategis dari investor.

“Mereka juga akan kesulitan mencari pinjaman. Jarang yang mau karena tahu resiko yang berat. Karena itu sarannya sebaiknya konsolidasi sebelum semakin bleeding keuangannya,” sarannya.

Pertajam
Secara terpisah,  Vice President Marketing Bakrie Telecom Rita Purnaeni mengungkapkan, perseroan terus melakukan konsolidasi internal dan mempertajam segmen pasar agar bisa bertahan di pasar.

Salah satu caranya adalah memasarkan kartu perdana baru  berisi paket telepon dan paket pesan singkat (SMS). Sebanyak   100 ribu kartu perdana telah dilepas di  di Jawa.  

“Kita ingin menyasar masyarakat menengah ke bawah dengan penghasilan rendah. Masyarakat di segmen ini lebih membutuhkan layanan telepon dan pulsa daripada layanan data,” katanya.

Diperkirakannya,  paket layanan suara di kartu perdana baru  ini akan berkontribusi 30% dari total pelanggan baru. Hal ini berdasarkan perilaku konsumen dimana   promosi layanan suara dan SMS ke sesama  operator (on-net) selalu berhasil.
 
Deputy CEO Commercial Smartfren Telecom Djokbo Tata Ibrahim menegaskan, perseroan tetap ekspansif tahun ini dengan menyiapkan belanja modal  sebesar US$ 400 juta.

Alokasi 80% dari anggaran belanja modal tersebut akan dipakai untuk membangun BTS EVDO Revision B untuk mendukung layanan data.  Sisanya 20% dipakai untuk memperkuat infrastruktur kabel serat optik. (ak)