BRTI : Industri Telekomunikasi Butuh Insentif Hukum

Ilustrasi (DOK)

JAKARTA – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menegaskan industri telekomunikasi di Indonesia membutuhkan insentif berupa kepastian dan perlindungan hukum  yang jelas.

“Industri telekomunikasi ini banyak membangun mengandalkan dana sendiri bukan dari pemerintah. Industri ini butuh kepastian dan perlindungan hukum. Bukan rongrongan demi rongrongan dengan dalih "penegakan hukum dan keadilan” yang berujung habisnya energi menjalankannya,” tegas Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono di Jakarta, Kamis (14/2).

Nonot dimintai komentarnya terkait masalah yang kembali membelit Telkomsel dengan keluarnya   keluarnya penetapan fee kurator ke anak usaha Telkom itu  oleh PN Niaga Jakarta Pusat senilai Rp 146,808 miliar.

“Bagi saya ini logika hukum yang aneh dan tak bisa dipahami. Seharusnya dengan dinyatakan menang kasasi, maka pailit itu tidak ada. Kalau seperti yang terjadi sekarang, operator bisa  habis energi mengurus masalah hukum yang tak jelas penyelesaiannya. Kapan membangun broadband?" sesalnya.

Hal lain yang tak bisa dimengertinya adalah jika seandainya Telkomsel menolak pembayaran fee itu maka terbuka peluang untuk menghadapi tuntutan, bahkan hingga asetnya disita.

“Ini kalau kejadian, muter-muter saja. Menang kasasi, tak bayar kurator, dituntut, terus upaya hukum kembali. Energi operator bisa habis mengurus ini,” sesalnya.  

Diingatkannya, Telkomsel masih memiliki saham Merah Putih dan memiliki tanggungjawab untuk membangun infrastruktur broadband di negeri ini.

“Negara tidak  punya dana, maka pembangunan broadband akses yang diminta oleh UU 17/2007 dan Perpres 5/2010 dimintakan kepada swasta. Harusnya aparat penegak hukum   mendukung program pembangunan nasional dengan regulasi dan penegakan hukum yang jelas dan melindungi. Ini bukannya insentif yang didapat pelaku usaha, tetapi rongrongan demi rongrongan,” keluhnya.

Tak Wajar
Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menduga ada ketidakwajaran dalam penetapan fee kurator Telkomsel.  

Dua hal yang disorot oleh mantan Anggota Komite BRTI adalah proses pengeluaran penetapan dimana pada  tanggal 10 Januari 2013, Telkomsel menerima putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Pada tanggal 11 Januari  2013 keluar Permenkumham No. 1/2013 tentang imbalan jasa kurator. Setelah itu tanggal 14 ada pengumuman kurator di dua media  nasional.

“Logikanya, jika penetapan fee kurator itu keluar tanggal 31 Januari 2013, seharusnya yang dijadikan acuan adalah  Permenkumham No. 1/2013, bukan peraturan yang sebelumnya. Agar lebih fair, Kemenkumham sebagai pemilik regulasi harus mengklarifikasi masalah detail yang diatur aturan baru itu," jelasnya.

Hal lain yang juga disorot Kamilov berdasarkan informasi yang beredar adalah, majelis hakim yang menetapkan imbalan jasa kurator dan biaya kepailitan untuk Telkomsel adalah majelis hakim yang sama yang memutus perkara pailit Telkomsel di  Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat dengan No. 48/Pailit/2012/PN. Niaga. Jkt. Pst jo No. 704K/pdt.Sus/2012.

"Jika itu benar, secara etika, seharusnya hakim yang memutuskan tidak boleh sama karena berpotensi ada konflik kepentingan," sesal Kamilov .

Untuk diketahui, perhitungan fee kurator menurut penetapan PN Niaga Jakarta Pusat adalah  berdasarkan perhitungan 0,5% dikalikan total aset yang dimiliki Telkomsel yakni sekitar  Rp 58.723 triliun. Hasil perkalian itu adalah   Rp. 293.616.135.000.

Angka sekitar Rp 293.616 miliar ini dibagi dua antara Telkomsel dengan Pemohon Pailit (Prima Jaya Informatika/PJI)  sehingga masing-masing dibebankan Rp. 146.808 miliar. Pola perhitungan itu menggunakan Permenkumham No 9/1998.

Sedangkan Telkomsel berpandangan aturan yang digunakan adalah Permenkumham No 1/2013 tentang imbalan jasa kurator yang berlaku 11 Januari 2013.  Dalam aturan ini seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan persentase aset pailit.

Jika mengacu kepada jam kerja, dengan asumsi tarif masing-masing kurator per orang Rp 2,5 juta per jam, 8 jam per hari, selama 86 hari, maka total imbalan 3 kurator sekitar Rp 5.160 miliar dan dibebankan kepada pemohon pailit.

Berdasarkan catatan, kurator dalam kasus pailit Telkomsel adalah Feri S Samad, Edino Girsang, dan Mokhamad Sadikin.
Sedangkan hakim pemutus kasus pailit Telkomsel di PN Niaga adalah Agus Iskandar, Bagus Irawan, dan Noer Ali. Majelis hakim yang sama juga yang menetapkan imbalan jasa kurator dan biaya kepailitan.

Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum Telkomsel Andri W Kusuma menegaskan menolak  membayar fee kurator karena terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam penetapan yang dikeluarkan PN Niaga Jakarta

“Penetapan fee kurator sangatlah tidak wajar dan tidak mencerminkan rasa keadilan, kepatutan dan kepantasan sebab fee kurator tersebut dihitung dari nilai persentase nilai aset Telkomsel, sementara faktanya tidak terjadi pailit atas Telkomsel jadi  sesungguhnya tidak ada pemberesan harta,” Andri.

Sedangkan salah seorang  kurator Telkomsel Feri Samad menyatakan anak usaha Telkom itu  harus membayar fee kurator sebesar Rp 146,808 miliar sebagai bentuk penghormatan terhadap produk hukum pada 15 Februari 2013.
Ditegaskannya,  jika Telkomsel menolak untuk  membayar maka akan dilayangkan gugatan.  

“Kita akan gugat, akan meminta pihak Telkomsel untuk melakukan penetapan eksekusi, kita akan meminta penyitaan aset-aset,” katanya.(id)